“BUAT apa belajar capek-capek siang dan malam, sampai harus bimbel, demi dapat DANEM tinggi, tapi nggak bisa masuk sekolah favorit?”
“Kalau anak saya nggak diterima masuk di sekolah favorit, masa depannya bagaimana?”
“Semua yang dilakukan sia-sia, percuma mengejar nilai, kalau nantinya dicampur sama murid-murid yang bodoh!”
“Sistem zonasi ini hanya mementingkan mereka yang rumahnya dekat dengan sekolah, tapi diskriminatif sama yang nilainya bagus hanya gara-gara rumahnya jauh!”
Saya membaca keluhan-keluhan itu di media sosial terkait polemik PPDB 2019 dengan sistem zonasi. Sebagian disampaikan oleh para orangtua. Sebagian lain disampaikan oleh para siswa yang kecewa. Hampir sulit menemukan keluh kesah yang disampaikan pihak sekolah atau guru, meski bukan tidak ada sama sekali.
Sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sudah mulai diterapkan sejak tahun 2017 dan disempurnakan pada tahun 2018. Juknisnya diatur dalam Permendikbud No. 51 tahun 2018. Juknis ini menjadi pedoman bagi pemerintah daerah, karena sekolah-sekolah negeri berada di bawah koordinasi pemerintah daerah, untuk melakukan pengaturan zonasi, menentukan sistem pendaftaran, dan lainnya.
Gagasan utama dari sistem zonasi ini adalah untuk menghilangkan stigma sekolah favorit dan non-favorit yang selama berpuluh tahun telah menjadi ‘dilema moral’ pendidikan di tengah masyarakat kita. Keberadaan sekolah favorit menciptakan sistem kompetisi yang tidak seimbang, karena murid-murid pintar akan terus mendapatkan ruang dan fasilitas terbaik untuk berkembang. Sementara murid ‘bodoh’ akan terdampar dan berkumpul bersama mereka yang kurang beruntung.
Eksklusivitas sekolah favorit juga diperparah dengan adanya praktik jual beli kursi saat pendaftaran sekolah. Yang membuat sekolah favorit bukan hanya diperuntukkan untuk murid yang pandai saja, yang nilainya memenuhi syarat, tetapi juga untuk murid kaya yang sanggup membayar harga tertentu. Anda bisa bayangkan dalam jangka panjang semua ini menciptakan kesenjangan kelas sosial yang sangat tidak adil. Orang kaya semakin kaya karena mendapatkan pendidikan terbaik, orang miskin terus miskin dan bodoh karena tak diberikan ruang dan kesempatan yang baik untuk berkembang.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ingin menghentikan semua ketidakadilan ini. Sekolah, terutama sekolah negeri yang dimiliki pemerintah, harus berkeadilan untuk semua pihak—bahkan mengutamakan mereka yang kurang mampu. Semua warga negara harus bisa sekolah dan mendapatkan akses serta fasilitas pendidikan terbaik.
Sekolah yang Berkeadilan
Melalui sistem zonasi, setiap sekolah wajib menerima murid berdasarkan jarak tempat tinggalnya dengan sekolah. Tentu saja gagasan ini tak sekadar menghentikan eksklusivitas sekolah-sekolah tertentu yang dianggap favorit, yang selama ini tak bisa diakses oleh ‘warga sekitar’ sekolah itu karena berbagai keterbatasan. Tetapi juga berusaha menyelesaikan problem sosial yang lain.
Bayangkan penyebaran siswa sekolah ke dekat rumah mereka masing-masing bisa mengurai mobilisasi orang di jam sekolah, menurunkan tingkat kemacetan, membantu para orangtua untuk menghemat ongkos, mendekatkan siswa ke rumah masing-masing untuk memperkuat pendidikan karakter, menghindari tawuran, menciptakan keseimbangan sosial yang lebih baik untuk anak-anak agar punya ‘waktu bermain’ dan ‘waktu istirahat’ yang cukup, dan seterusnya. Faktanya, di banyak negara maju seperti Swiss, Jepang dan Australia, misalnya, sistem zonasi ini sudah diterapkan sejak lama sekali dan menjadi solusi untuk masalah-masalah di atas.
Apakah sistem zonasi ini sama sekali tidak mengakomodasi siswa berprestasi untuk bisa bersekolah di sekolah yang mereka harapkan? Tentu tidak. Sistem zonasi ini tetap memberikan kuota untuk mereka yang berprestasi dan memiliki DANEM tinggi. Sesuai peraturan, bahkan sistem ini juga memberi ruang untuk ‘siswa pindahan’ yang misalnya ikut orangtuanya yang pindah kerja ke daerah tersebut. Kuotanya masing-masing 5% dari jumlah siswa yang diterima, total 10%.
Artinya, dengan sistem zonasi ini, sekolah wajib menerima 90% siswa yang berasal dari daerah yang berdekatan dengan sekolah tersebut. 5% dikompetisikan untuk siswa berprestasi. 5% lagi diperuntukkan untuk jalur perpindahan tugas orangtua/wali. Komposisi ini, meski tidak sama persis, mirip seperti yang dilakukan oleh perguruan-perguruan tinggi negeri ketika menerima mahasiswa baru—yang sudah diterapkan selama bertahun-tahun.
Hal ini semata-mata dilakukan untuk memberikan layanan pendidikan yang berkeadilan. Bagi saya, Mendikbud Muhadjir Effendy memiliki visi yang hebat tentang mengubah sekolah negeri menjadi hak semua orang. Katanya, “Sekolah negeri bertugas memberikan layanan publik. Dan layanan publik harus memenuhi tiga aspek penting. Non excludable, tidak diperuntukkan untuk kelompok tertentu. Non rivalry, tidak dikompetisikan secara berlebihan untuk mendapatkannya. Dan non discrimination, tidak diskriminatif terhadap pihak tertentu.”
Dengan sistem zonasi ini, ketiga aspek itulah yang ingin dikejar. Layanan pendidikan yang diberikan pemerintah harus adil untuk semua. Sekolah tidak boleh hanya diperuntukkan untuk golongan tertentu saja, misalnya mereka yang kaya yang selama ini bisa dengan mudah masuk ke sekolah-sekolah negeri favorit. Tidak boleh dikompetisikan secara berlebihan, karena justru pemerintah harus berpihak dan mementingkan mereka yang kurang beruntung. Dan juga tidak diskriminatif, bahkan penyandang disabilitas pun harus bisa mengakses sekolah negeri yang dekat dengannya.
Terus Disempurnakan
Tentu saja menurunkan visi besar ini ke level teknis bukan pekerjaan mudah yang akan selesai dalam semalam. Di beberapa daerah, pelaksanaan PPDB dengan sistem zonasi ini masih menemui sejumlah kendala. Tetapi pemerintah pusat terus melakukan pendampingan dan pengawasan dalam pelaksanaan PPDB ini agar visi keadilan seperti yang dijelaskan di atas terpenuhi dan terlaksana dengan baik. Termasuk tidak boleh ada praktek kolusi atau kecurangan dalam bentuk apapun.
Dengan dihilangkannya status sekolah favorit, semua sekolah negeri pada saatnya harus setara. Kemendikbud terus mendorong sekolah-sekolah yang fasilitasnya masih belum sempurna untuk mengejar ketertinggalan. Bantuan-bantuan pemerintah berupa fasilitas laboratorium, alat bantu pendidikan, dan lainnya diprioritaskan untuk sekolah-sekolah seperti ini.
Guru dan kepala sekolah pun dirotasi. Kepala sekolah yang selama ini terus berada di sekolah ‘favorit’, dirotasi ke sekolah lain untuk membantu meningkatkan kualitas layanan dan pengelolaan SDM di sekolah lain. Guru-guru terbaik pun disebar ke berbagai tempat, dirotasi terus-menerus. Selain ini akan baik untuk peningkatan dan pemerataan kompetensi guru, sistem karir untuk profesi guru pun akan semakin baik di kemudian hari.
“Jadi, sekarang pemerintah tidak mementingkan lagi nilai siswa?”
“Jadi, percuma anak saya pintar kalau tidak bisa masuk sekolah yang dia inginkan?”
“Kalau pemerintah memperhatikan masyarakat yang miskin dan siswa yang bodoh, artinya mengorbankan mereka yang pintar?”
Coba kita renungkan lagi pernyataan-pernyataan itu. Apakah tidak terasa egois? Apakah kita tidak mau memikirkan nasib bangsa ini di masa depan—yang membutuhkan kualitas pendidikan yang lebih merata dan adil untuk semua orang? UN bukan untuk menentukan siswa itu masuk ke sekolah mana, tetapi untuk mengukur keberhasilan proses pendidikan.
Apakah jika anak kita memang pintar dan memiliki nilai tinggi akan merugikan dirinya jika tidak bersekolah di tempat yang diinginkan? Benarkah sekolah menjamin masa depannya? Apakah semua alumni sekolah favorit selama ini terbukti seluruhnya berhasil dalam hidup dan karir? Semua kembali pada individu-individu masing-masing. Bukankah kepandaian itu tetap penting utuk kualitas dirinya sendiri di manapun ia berada? Bukankah lebih hebat jika ia bisa tetap berprestasi, tetap menjadi anak yang pintar, sambil belajar menjadi individu yang tidak ekslusif, tidak diskriminatif, dan lebih memiliki kecerdasan sosial yang tinggi.
Mungkin semua ini tidak memuaskan untuk Anda atau anak Anda. Tetapi maaf, pemerintah sedang bekerja, mengutamakan keadilan sosial untuk semua. Sekolah untuk semua…
Jakarta, 19 Juni 2019
Fahd Pahdepie
makassar.terkini.id
0 Response to "Zonasi, Tidak Ada Lagi Sekolah Favorit"
Post a Comment