Ketua Panja RUU Sistem Perbukuan (Sisbuk) Sutan Adil Hendra menegaskan ketersediaan buku menjadi indikator utama menumbuhkan budaya literasi di masyarakat. Sehingga, ia mengapresiasi kegiatan yang menyediakan buku murah seperti Islamic Book Fair (IBF).
"Tak cukup dengan itu, kalau bukunya tak ada, karena yang paling utama indikatornya buku," kata Wakil Ketua Komisi X DPR RI itu kepada Republika, Ahad (7/5).
Ia beranggapan kegiatan pasar buku murah merupakan salah satu gerakan meningkatkan literasi. Namun, menurutnya, permasalahan utama menumbuhkan budaya literasi, yakni ketersediaan buku. Sehingga, ia optimistis UU Sisbuk dapat menjadi solusi permasahan itu.
Sutan menjabarkan, ruh dari UU Sisbuk ada tiga, yakni, pertama buku mutu, artinya buku harus berkualitas dan berstandar. Kedua, buku murah, artinya buku teks utama yang dipakai anak nol sampai 12 tahun tak boleh dipungut biaya. Ketiga, buku merata bagi daerah tertinggal dan disabilitas. Ia mengakui menyediakan buku merata menjadi kendala bagi daerah 3T dan disabilitas.
"Jadi dengan 3M (buku mutu, murah, merata) salah satu solusi untuk bisa mengejar literasi yang memprihatinkan," ujar Sutan.
Ia menyebut, berdasarkan survei Most Littered Nation In the World yang dilakukan Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara soal minat membaca. Posisi Indonesia hanya setingkat di atas Boswana. Menurut Sutan, survei itu tidak berbanding lurus dengan kemajuan Indonesia.
"Kalau minat baca kita rendah, kita akan ketinggalan," jelasnya.
republika.co.id
0 Response to "Ketersediaan Buku Menjadi Kendala Budaya Literasi"
Post a Comment